Friday, March 06, 2009
PEMBELAJARAN SAINS TERPADU
Kurikulum secara luas adalah semua aturan yang berhubungan dengan pendidikan. Dengan meninjau definisi yang berbeda,kurikulum adalah kumpulan semua mata pelajaran, wacana pelajaran dan sekaligus sebagai wahana pendidikan. Dalam arti sempit kurikulum adalah Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) yang merupakan kumpulan pokok bahasan atau istilah sekarang silabus.
Kita semua mengetahui bahwa sejak lama wawasan pendidikan IPA (Sains) pada tingkat SD adalah terpadu, tingkat SLTP sudah terpadu (dalam arti penilaian raport sudah menjadi satu), namun ‘masih terpisah’ selama pembelajaran yaitu meliputi jam pembelajaran maupun guru mata pelajarannya, walaupun terkadang memakai satu buku yangsudah terpadu materi fisika, biologi dan kimianya.Pada tingkat SLTA sejakdulu sudah terpisah, namun masih bersifat umum, dan di tingkat Perguruan Tinggi adalah terpisah, namun sudah bersifat spesialisasi.
Pendekatan pembelajaran IPA (Sains) terpadu di jenjang sekolah lanjutan telah banyak diwacanakan bahkan dicobakan dalam level penelitian misalnya dapat berupa pengajaran Sains terkait (combined), pembelajaran Sains terintegrasi (integrated), Pendekatan pembelajaran SAPA (Science A Process Approach), Pembelajaran bervisi STS (Science—Technology—Society), Pembelajaran bervisi SETS (Science—Environment—Technology—Society). Seiring dengan maraknya pendekatan pembelajaran Sains Terpadu, model-model pembelajaran juga banyak yang dimunculkan. Tetapi manakah yang paling kita yakini cocok diterapkan untuk kurikulum kita?
Sebenarnya bila ditelaah lebih mendalam pengajaran IPA (sains) terpadu belum pernah ada, artinya tidak pernah terjadi dalam praktek pembelajaran sekolah-sekolah di Indonesia. Di SD pembelajaran yang muncul hanyalah pengetahuan IPA saja belum memadukan pengetahuan dengan kondisi riil di sekeliling alam sekitarnya, di SMP pembelajaran masih terpisah (tidak berani memadukan). Jadi pendekatan science integrated sulit dilaksanakan. IPA terpadu sulit, kecuali mampu memadukan materi sentris yang biasanya terpisah dengan kenyataan di lapangan, menjadi satu proses pembelajaran. Perlukah sering dilakukan studi wisata ke pabrik, ke alam secara langsung, ke industri (seperti praktek kerja industri di sekolah kejuruan). Namun bisakah pembelajaran pengetahuan yang hanya 90 menit sambil membawa siswa ke obyek kontekstual yang makan waktu berjam-jam? Sulit bukan..?
Akhirnya pembelajaran sains yang terpisah seperti itu hanya memajukan kompeten pengetahuan saja. Sebagai contoh seorang siswa dalam pelajaran Fisika mendapat nilai 9, namun di rumah lampu mati, atau kabel setrika putus, siswa tidak bisa memperbaiki dan tidak mampu berbuat apa-apa. Wawasan siswa terpotong-potong atau menjadi dead knowledge. Langkah kita sebagai guru harus berusaha keras menghindari dead knowledge. Masyarakat kita sudah turun temurun mengenal tempe, namun sejak jaman baheula ya seperti itulah tempe, lebih dari dua hari menjadi tempe bosok. Namun di Jepang sudah ada tempe kaleng, asli seperti tempe di Indonesia. Orang jepang mampu membuat tempe dan sekaligus mengawetkannya dalam waktu lama. Pelaut-pelaut yang kangen tempe dapat menemukannya dalam kaleng, tidak takut menjumpai tempenya bosok. Bayangkan selama berbulan-bulan pelaut itu berbekal tempe dari Indonesia. Tempe kaleng juga dikembangkan di Afrika (Simbabwe, Afrika Selatan) karena diyakini ada zat yang dihasilkan dapat mencegah kanker.
Tantangan bagi guru adalah guru mengembangkan proses pembelajaran sains terintegrasi tanpa meninggalkan : alokasi waktu, dan jangan nggladrah/ tidak efektif. Praktikum tidak harus dalam kelas, bisa juga dalam bentuk tugas, atau proyek, sehingga evaluasinya bisa bervariasi,jika evaluasi hanya diukur dari aspek kognitif saja sebenarnya kita para guru rugi. Karena apa? Setiap siswa memiliki kecerdasan sendiri-sendiri yang berbeda-beda. Bukankah profesi manusia di sekitar kita sedemikian banyak ragamnya ?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment